geng motor
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian geng motor adalah
sekumpulan orang memiliki hobi bersepeda motor yang membuat kegiatan
berkendara sepeda motor secara bersama sama baik tujuan konvoi maupun
touring dengan sepeda motor. pengertian geng motor ini sebenarnya
berawal dari sebuah kecenderungan hobi yang sama dari beberapa orang,
namun belakangan geng motor semakin meresahkan masyarakat.
pengertian geng motor memang melekat dengan kekerasan, hal ini karena beberapa geng motor belakangan telah berubah dari kumpulan hobi mengendarai motor menjadi hobi menganiaya orang, hingga hobi melakukan aksi perampokan.
geng motor awalnya berkembang di kota bandung, namun sekarang geng motor bisa kita temukan hampir di setiap kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan bahkan merembet ke kota-kota kecil seperti kediri, malang, siantar dan sebagainya.Saat ini punkkers dan geng-geng motor telah menjadi gejala sosial yang sangat meresahkan masyarakat. Kehadiran kelompok-kelompok remaja dengan penampilan khasnya itu identik dengan kekerasan. Melalui tayangan televisi, kita dapat menyimak mereka menjalankan aksi brutal di jalanan. Mereka juga digambarkan sebagai kaum remaja yang sering membuat keributan dan sudah dicap negative oleh kalangan masyarkat umum. Para anggota punk ini sering dikenal degan sebutan Punkers.
pengertian geng motor memang melekat dengan kekerasan, hal ini karena beberapa geng motor belakangan telah berubah dari kumpulan hobi mengendarai motor menjadi hobi menganiaya orang, hingga hobi melakukan aksi perampokan.
geng motor awalnya berkembang di kota bandung, namun sekarang geng motor bisa kita temukan hampir di setiap kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan bahkan merembet ke kota-kota kecil seperti kediri, malang, siantar dan sebagainya.Saat ini punkkers dan geng-geng motor telah menjadi gejala sosial yang sangat meresahkan masyarakat. Kehadiran kelompok-kelompok remaja dengan penampilan khasnya itu identik dengan kekerasan. Melalui tayangan televisi, kita dapat menyimak mereka menjalankan aksi brutal di jalanan. Mereka juga digambarkan sebagai kaum remaja yang sering membuat keributan dan sudah dicap negative oleh kalangan masyarkat umum. Para anggota punk ini sering dikenal degan sebutan Punkers.
Dalam bahasa psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), kaum remaja itu
lebih mengikuti kekuatan id (dorongan-dorongan agresif) ketimbang
superego (hati nurani). Keberadaan ego (keakuan) mereka gagal untuk
memediasi agresivitas menjadi aktivitas sosial yang dapat diterima
dengan baik dalam kehidupan sosial (sublimasi).
Namun, pendekatan psikologis itu sekadar mampu mengungkap persoalan
dalam lingkup individual. Itu berarti nilai-nilai etis yang
berdimensi sosial cenderung untuk dihilangkan. Padahal, kehadiran
Punkers lebih banyak berkaitan dengan problem sosiologis.
Definisi tentang kedua geng itu sendiri sangat jelas identik dengan
kehidupan berkelompok. Hanya saja geng memang memiliki makna yang
sedemikian negatif. Geng bukan sekadar kumpulan remaja yang bersifat
informal. Geng (gank) adalah sebuah kelompok penjahat yang
terorganisasi secara rapi. Dalam konsep yang lebih moderat, geng
merupakan sebuah kelompok kaum muda yang pergi secara bersama-sama
dan seringkali menyebabkan keributan.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang mengenai Punkers tersebut dapat di rumuskan
beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
- Mengapa ada sebagian kalangan remaja yang mudah terbujuk untuk mengikuti Punkkers dan geng-geng motor?
- Benarkah seluruh fenomena itu sekadar persoalan psikologis, ataukah justru lebih bercorak sosiologis? Apabila problem sosial itu dilihat dari perspektif psikologistis, maka penilaian yang muncul adalah kaum remaja yang menjadi anggota Punkkers/geng tersebut sedang melampiaskan hasrat tersembunyinya.
- Mengapa sekalipun geng identik dengan pola-pola sosial yang negatif, kaum remaja relatif mudah tergelincir memasuki kelompok sejenis itu? Apabila kita mengikuti pemikiran Jurgen Habermas, kaum remaja yang terlibat dalam kehidupan geng sebenarnya sedang mengalami distorsi komunikasi. Kaum remaja tidak mampu memahami atau sengaja tidak sudi untukmenyepakati aturan-aturan budaya, masyarakat, dan komunitas tempat berfungsinya dengan baik. Padahal, dalam aturan-aturan itu dapat ditelusuri latar belakang sosial dan kultural yang memberikan kemungkinan membayangkan diri kita dalam posisi orang lain.
Komunikasi yang terdistorsi itulah, yang menjadikan anggota-anggota
geng lebih permisif untuk melakukan kekerasan. Itu disebabkan karena
mereka telah kehilangan sensitivitas terhadap kehadiran pihak lain.
Bahkan rasa simpati dilenyapkan begitu saja.
Tidak aneh, jika anggota-anggota Punkers memiliki preferensi untuk
memaksa, dan setidaknya menggertak pihak yang dianggap lebih lemah
untuk mengikuti kehendak mereka. Cara-cara kekerasan fisik dan verbal
sengaja dilakukan untuk menundukkan pihak yang dipandang tidak
sejalan. Itulah yang disebut sebagai praktik bullying yang dapat
terjadi di lokasi mana pun, baik di sekolah maupun jalanan. Melalui
pemahaman demikian, tampaknya lebih tepat apabila kehadiran Punkers
dilihat sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial.
Kaum remaja yang terlibat dalam kehidupan geng sebenarnya sedang
mengalami distorsi komunikasi. Kaum remaja tidak mampu memahami atau
sengaja tidak sudi untuk menyepakati aturan-aturan budaya,
masyarakat, dan komunitas tempat berfungsinya dengan baik.
Hal tersebut dikarenakan para anggota Punkers secara sadar melakukan
pelanggaran terhadap norma-norma sosial. Perasaan khawatir bahwa geng
ini akan merebak atau menular layaknya bahaya patologis pun dapat
dimengerti. Sebab, apa yang disebut sebagai kenakalan remaja tidak
dapat lahir sendiri.
Kenakalan atau penyimpangan sosial remaja, yang terlihat dengan
bertumbuhnya geng, ditransmisikan dan dipelajari dari kelompok yang
satu kepada kelompok yang lain. Terlebih lagi remaja sangat rentan
untuk melakukan tindakan-tindakan peniruan, apalagi terhadap perilaku
yang dianggap sebagai mode (fashion) yang menimbulkan heroisme dan
rasa bangga.
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendiskripsikan secara
singkat tentang beberapa kenakalan remaja yang saat-saat ini
berkembangbiak di masyarakat, terutama bagi kalangan remaja. Karena
bagaimanapun remaja memiliki suatu ego yang besar sehingga sulit
untuk mengontrol diri dari hal-hal negative. Hal ini desebabkan oleh
minimnya penanaman nilai-nilai agama (akhlak) sehingga para remaja
tidak memiliki benteng untuk menfilter maupun menghindari hal-hal
negative tersebut. Hal ini diperkuat dengan lingkungan yang serba
cuek ataupun bahkan memberikan contoh-contoh negative, sehingga semua
hal-hal yang berbau negative seakan-akan mendapat pupuk ataupun
angin segar untuk berkembangbiak. Karena bagaimanapun yang haq
dan yang batil itu jelas jadi kita tidak boleh
membiarkan yang batil itu berkembangbiak. Pepatah mengatakan
janganlah engkau bermain-main dengan api, karena engkau pasti akan
terkena percikannya. Dalam makalah ini kami mencoba untuk membahas
secara singkat tentang punkkers dan geng motor.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
Kenakalan
remaja (Punkker dan Geng motor) dalam studi masalah sosial
dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif
perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat
penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari
nilai dan norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat
dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya
sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat
mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku
yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan
adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja,
diantaranya karena si pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada.
Sedangkan perilaku yang menyimpang yang disengaja, bukan karena si
pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami
bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan
penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan.
Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26), mengatakan bahwa tidak ada
alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai
dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada
dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada
situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi
kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal
biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Masalah sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Punkers
dan Geng motor Dalam Kehidupan Remaja” bisa melalui
pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan
individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan
sosialisasi, perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial
apabila ia tidak berhasil dalam melewati belajar sosial
(sosialisasi). Tentang perilaku disorder di kalangan anak dan remaja
(Kauffman , 1989 : 6) mengemukakan bahwa perilaku menyimpang juga
dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku
disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang
tidak layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil
interaksi dari transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan
lingkungan sosialnya. Ketidak berhasilan belajar sosial atau
“kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut
dapat termanifestasikan dalam beberapa hal.
Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui
interaksi sosial dengan menggunakan media atau lingkungan sosial
tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan lingkungan tersebut akan
sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang diserap.
Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan kriminalitas di daerah
perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat yang
kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai
karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986 : 400), mengatakan
tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya
berada pada bagian wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan
di bawah standar, overcrowding, derajat kesehatan rendah dari kondisi
serta komposisi penduduk yang tidak stabil Sutherland dalam
(Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi
kriminal melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung
devian, maka seseorang akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar
tentang teknik dan nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan
memungkinkan untuk menumbuhkan tindakan kriminal.
Mengenai pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah
sosial yang bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan
disorganisasi sosial sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh (Eitzen,
1986:10) bahwa seorang dapat menjadi buruk/jelek oleh karena hidup
dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami gejala
disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan
kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah,
sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan
perilaku. Di dalam masyarakat yang disorganisasi sosial, seringkali
yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan surutnya kekuatan
mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku menyimpang
karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang
biasa dan wajar.
BAB
III
Diskusi
Permasalahan Dan Pembahasan
BERITA tentang perilaku punkkers dan geng motor
akhir-akhir ini bisa dianggap sudah sangat meresahkan masyarakat,
sehingga dapat dikategorikan sebagai kondisi patologi sosial,
penyakit masyarakat yang perlu segera diobati. Lembaga
kepolisian sampai mempermaklumkan akan menembak di tempat anggota
Punkkers
maupun geng motor
yang melakukan kebrutalan.
Perang antar Punkkers
dan geng kerap menimbulkan korban luka hingga korban jiwa. Yang lebih
mengkhawatirkan lagi, saat ini aksi Punkers sudah bukan tawuran antar
Punkkers
lagi, namun sudah melibatkan masyarakat umum sebagai korban mereka.
Subkultur geng anak muda, kata kriminolog Cloward dan Ohlin, akan
tumbuh subur tergantung pada tipe atau cara pertentangan di mana
mereka tinggal. Ada tiga tipe geng:
Pertama,
geng pencurian (thief gangs), mereka berkelompok melakukan pencurian
yang mula-mula hanya untuk menguji keberanian anggota kelompok.
Kedua,
geng konflik (conflict-gangs) kelompok ini suka sekali mengekpresikan
dirinya melalui perkelahian berkelompok supaya tampak gagah dan
pemberani.
Ketiga,
geng pengasingan (retreats gangs), kelompok geng ini sengaja
mengasingkan dirinya dengan kegiatan minum minuman keras, atau napza
yang kerap dianggap sebagai suatu cara ”pelarian” dari alam
nyata. Tetapi bisa saja sebuah geng memiliki lebih
dari satu macam tipe.
Dalam geng acapkali tumbuh subkultur kekerasan
(subculture of violence). Munculnya subkultur itu disebabkan oleh
adanya sekelompok orang yang memiliki sistem nilai yang berbeda
dengan kultur dominan. Masing-masing
subkultur memiliki nilai dan peraturan berbeda-beda yang kemudian
mengatur anggota kelompoknya. Nilai-nilai itu terus berlanjut karena
adanya perpindahan nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Berlatar belakang pengetahuan tentang berbagai
jenis geng, kini perlu diteliti secara objektif keberadaan komunitas
Punk di Indonesia. Dari hasil penelitian punkkers
maupun geng motor
dapat diidentifikasi bercirikan: punya identitas (nama, ornamen
pembeda, lambang, dsb). Kelompok ini identik dengan minuman keras,
obat-obatan terlarang (ganja,sabu-sabu,ektasi,etc), freesexs,
berkendaraan,bergerombol, dengan penampilan khasnya yang terlihat
urak-urakan; dan memiliki semacam daerah kekuasaan, dan musuh berupa
Punkers lainnya.
- Karakteristik keanggotaan
Karakteristik anggota Punkkers maupun geng motor
adalah sebagai berikut: usia antara 14-32 tahun; kebanyakan berjenis
kelamin laki-laki; sangat bangga dengan statusnya sebagai salah satu
anggota Punkers; agresif dan menantang bahaya; tingkat pendidikan
antara SMP sampai dengan perguruan tinggi; menjadi anggota Punkers
atas ajakan rekan sekolah maupun lingkungan.
Apabila geng mereka diekspos di media massa, mereka merasa sangat
bangga, sehingga semakin berlomba-lomba untuk lebih banyak melakukan
perilaku yang mereka anggap menimbulkan sensasi yang akan
dipublikasikan oleh media. Kadang-kadang mereka
tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai
perbuatan kriminal. Misalnya merampas milik orang lain, melakukan
tindak kekerasan, tawuran antargeng, dan melakukan pembunuhan
terhadap anggota geng lain . Namun setelah kami melakukan interview
langsug pada komunitas geng tersebut (Punkkers
Gresik), semua realita diatas tidak
sesuai dengan tujuan utama terbentuknya Punkkers
dan geng-geng tersebut. Karena tujuan utama pendirian kelompok
tersebut merupakan upaya (expresi) penolakan terhadap benyaknya
peraturan-paraturan dalam masyarakat yang banyak membatasi kegiatan
(aktivitas) mereka.
Menurut hasil analisis kami, hal ini terjadi
karena mereka tidak sadar bahwa ada kemungkinan terbuka peluang bagi
para penjahat yang menyusup ke dalam punkkers
maupun geng motor,
sehingga masyarakat menganggap perilaku kriminal tersebut dilakukan
oleh para remaja yang sebenarnya tidak berniat untuk melakukan tindak
kriminal. Penyusupan tersebut sulit untuk diidentifikasikan, karena
jumlah Punkers di kota-kota sangat banyak. Dan
ketika melakukan operasi, mereka menggunakan penutup yang menutupi
seluruh wajah. Jadi sulit sekali
mengidentifikasi pelaku.
Inilah yang membuat polisi melakukan tindakan
represif dan mempermaklumkan tindakan tembak di tempat untuk para
pelaku kekerasan dari geng motor.
Namun demikian, polisi harus berhati-hati menumpas perilaku kriminal
tersebut, sehingga masyarakat tidak resah, terutama bagi para orang
tua yang kebetulan anak remajanya terlibat dalam Punkkers
maupun geng
motor. Polisi harus benar-benar bekerja
keras untuk menyisir mana remaja yang delinquent dan mana para
kriminal yang berkedok geng motor atupun
punkkers juga provokator.
Membubarkan atau melarang tumbuhnya Punkers bukan merupakan jalan
keluar yang baik, bahkan akan jadi bumerang bagi penegakan hukum.
Karena akan melahirkan masalah sosial yang baru; remaja akan
kehilangan ruang publik untuk berekspresi diri, dan mencari kegiatan
lain yang boleh jadi lebih patologis wujudnya, misalnya kebut-kebutan
di jalan.
- Faktor Kenakalan Remaja
Berdasarkan perkembangan zaman saat ini adapun yang menjadi
faktor-faktor penyebab kenakalan remaja saat ini adalah:
1. Faktor intern
Faktor intern adalah
faktor yang datangnya dari dalam tubuh remaja sendiri. Faktor intern
ini jika mendapatkan contoh-contoh yang kurang mendidik dari tayangan
televisi akan menimbulkan niat remaja untuk meniru adegan-adegan yang
disaksikan pada isi program televisi tersebut. Khususnya menyangkut
masalah pergaulan remaja di zaman sekarang yang makin berani
mengedepankan nilai-nilai budaya luar yang tidak sesuai dengan adat
budaya bangsa. Akhirnya keinginan meniru tersebut dilakukan hanya
sekedar rasa iseng untuk mencari sensasi dalam lingkungan pergaulan
dimana mereka bergaul tanpa batas dan norma agar dipandang oleh
teman-temannya dan masyarakat sebagai remaja yang gaul dan tidak
ketinggalan zaman.
Timbulnya minat atau kesenangan remaja yang memang gemar menonton
acara televisi tersebut dikarenakan kondisi remaja yang masih dalam
tahap pubertas. Sehingga rasa ingin tahu untuk mencontoh berbagai
tayangan tersebutyang dinilai kurang memberikan nilai moral bagi
perkembangan remaja membuat mereka tertarik. Dan keinginan untuk
mencari sensasipun timbul dengan meniru tayangan-tayangan tesebut,
akibat dari kurangnya pengontrolan diri yang dikarenakan emosi jiwa
remaja yang masih labil.
2. Faktor ekstern
Faktor ekstern adalah
faktor yang datangnya dari luar tubuh remaja. Faktor ini dapat
disebut sebagai faktor lingkungan yang memberikan contoh atau teladan
negatif serta didukung pula oleh lingkungan yang memberikan
kesempatan.
Hal ini disebabkan karena pengaruh trend media televisi saat ini yang
banyak menampilkan edegan-adegan yang bersifat pornografi, kekerasan,
hedonisme dan hal-hal yang menyimpang dari nilai moral dan etika
bangsa saat ini. sepertinya media televisi telah memaksa remaja untuk
larut dalam cerita-cerita yang mereka tampilkan seolah-olah memang
begitulah pergaulan remaja seharusnya saat ini. Yang telah banyak
teradopsi oleh nilai-nilai budaya luar yang kurang dapat mereka
seleksi mana yang layak dan yang tidak layak untuk ditiru.
3. Minimnya
perhatian dari Orang Tua dan Lingkungan
Hal tersebut memberikan dampak buruk pula bagi
remaja untuk mudah larut dalam hal-hal negatif. Baik
dari tayangan televisi maupun dari pergaulan teman-temannya.
Kurangnya perhatian orang tua banyak para remaja mencari perhatian
didunia luar. Mereka cenderung melakukan atau mencari kesenangan di
lingkungan pergaulannya. Ikut-ikutan dan tak lagi dapat membedakan
yang mana baik dan buruk. Rasa takut hilang
karena menganggap banyak temannya yang melakukan hal keliru tersebut.
Hingga akhirnya ketergantungan dan mereka terus melakukannya berulang
kali seperti halnya biasa dan membentuk sebuah budaya yang tak bisa
lepas dari hidup mereka. Seperti mengkonsumsi minuman keras, narkoba
dan kegiatan lain yang dinilai dapat memberikan kesenangan sesaat.
Dan dampak dari kegiatan tersebut akan menciptakan orang-orang yang
hedonis.
Faktor lain yang juga ikut berperan menjadi alasan
mengapa remaja saat ini memilih bergabung dengan geng
motor adalah kurangnya sarana atau
media bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif.
Begitu juga dengan keterlibatannya menjadi anak-anak punk.
Remaja pada umumnya, lebih suka memacu kendaraan dengan kecepatan
tinggi. Namun, ajang-ajang lomba balap yang legal sangat jarang
digelar. Padahal, ajang-ajang seperti ini sangat besar manfaatnya,
selain dapat memotivasi untuk berprestasi, juga sebagai ajang
aktualisasi diri. Karena sarana aktualisasi diri yang positif ini
sulit mereka dapatkan, akhirnya mereka melampiaskannya dengan aksi
ugal-ugalan di jalan umum yang berpotensi mencelakakan dirinya dan
orang lain.
- Pengendalian
Dalam literatur sosiologi (Paul B Horton dan Chester L Hunt, 1964:
140-146, dan Alex Thio, 1989: 176-182), ada tiga cara yang dapat
dikerahkan untuk mengatasi deviasi sosial.yaitu:
Pertama, Internalisasi atau penanaman nilai-nilai
sosial melalui kelompok informal atau formal. Lembaga-lembaga sosial,
seperti keluarga dan sekolah, adalah kekuatan yang dapat membatasi
meluasnya punkkers ataupun geng motor. Mekanisme
pengendalian itu lazim disebut sebagai sosialisasi.
Dalam proses sosialisasi itu, setiap unit keluarga dan sekolah
memiliki tanggung jawab membentuk, menanamkan, dan mengorientasikan
harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, serta tradisi-tradisi yang
berisi norma-norma sosial kepada remaja. Bahkan, hal yang harus
ditegaskan adalah sosialisasi yang bersifat informal dalam lingkup
keluarga jauh lebih efektif. Sebab, dalam domain sosial terkecil itu
terdapat jalinan yang akrab antara orang tua dengan remaja.
Kedua, penerapan hukum pidana yang dilakukan secara
formal oleh pihak negara. Dalam kaitan itu, aparat penegak hukum,
seperti kepolisian, pengadilan, dan lembaga pemenjaraan, digunakan
untuk mengatasi geng motor maupun punkkers.Keuntungannya
adalah penangkapan dan pemberian hukuman kepada anggota-anggota
geng/punkkers yang melakukan tindakan kriminal mampu
memberikan efek jera bagi anggota-anggota atau remaja lain.
Kerugiannya, aplikasi hukum pidana membatasi kebebasan pihak lain
yang tidak berbuat serupa. Bukankah dalam masyarakat ada
kelompok-kelompok pengendara sepeda motor yang memiliki tujuan-tujuan
baik, misalnya untuk menyalurkan hobi automotif? Selain itu bukankah
ada juga pembentukan kelompok-kelompok yang bertujuan untuk positif?
Seperti kelompok peduli lingkungan dan hutan Indonesia, etc.
Ketiga,
dekriminalisasi yang berarti bahwa eksistensi geng-geng
motor ataupun punkkers
justru diakui secara hukum oleh negara. Tentu saja, dekriminalisasi
bukan bermaksud untuk melegalisasi kejahatan, kekerasan, dan berbagai
pelanggaran norma-norma sosial yang dilakukan remaja. Dekriminalisasi
memiliki pengertian sebagai “kejahatan yang tidak memiliki korban”.
Prosedur yang dapat ditempuh adalah pihak pemerintah dan masyarakat
membuka berbagai jenis ruang publik yang dapat digunakan kaum remaja
untuk mengekspresikan keinginannya, terutama dalam menggunakan
kendaraan bermotor. Lapangan terbuka atau arena balap bisa jadi
merupakan jalan keluar terbaik. Kehadiran geng
motor dan
punkkers merupakan fenomena sosial yang
harus direspons secara proporsional. Menanggapi kemunculan mereka
dengan lagak sok moralistis atau menunjukkan sikap sebagai aparat
negara dan orang tua yang sedemikian histeris, justru dengan mudah
memancing kaum remaja menjadi semakin sinis.
- Penanaman Nilai-nilai Agama
Sebagai upaya preventif terhadap peningkatan jumlah anggota geng
motor dan punkkers di kemudian hari, perlu dilakukan
penanaman nilai-nilai agama sejak dini. terutama tentang akhlaq
(moral dan etika). Dengan begitu anak akan
mengetahui mana yang layak dilakukan dan mana yang tidak boleh
dilakukan. Sehingga pada saat mereka sudah mulai berinteraksi dengan
masyarakat mereka tahu batasan-batasan dan aturan yang harus
dipatuhi.
Salah satu solusi yang bisa memperbaiki keadaan mereka secara efektif
adalah peran; kepedulian; dan kasih sayang orang tua mereka sendiri.
”Solusi
ini akan lebih efektif, mengingat penyebab utama mereka memilih geng
motor dan
punkkers sebagai bagian
kehidupannya adalah karena mereka merasa jauh dari kasih sayang orang
tua. Dalam menterapi anaknya yang sudah terlanjur terlibat anggota
geng motor,
orang tua bisa bekerja sama dengan psikolog yang mereka percayai.
Sehingga secara pasikologis sedikit demi sedikit anak akan
mendapatkan kembali kenyamanan berada dalam kasih sayang orang tua”
selain itu kita sebagai mahluk Allah swt juga berkewajiban
memasukkan nilai-nilai religius kepada para anak didik kita. Karena
bagaimanapun kita harus mematuhi peraturan-peraturan yang telah
ditetepkan oleh sang pencipta, selain itu yang menjadi benteng paling
efektif untuk mencegah nilai-nilai negatif yang sudah dijelaskan
diatas hanyalah agama”.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
Tindak kekerasan yang dilakukan geng motor dan punkkers
ini merupakan cermin kondisi masyarakat yang sedang sakit dan tengah
mengalami krisis multidimensi yang berkepanjangan.
Penanganan
geng motor dan punkkers sendiri tidak dapat dilakukan
secara represif karena anggota-anggotanya kebanyakan berasal dari
kalangan remaja. ”Hukum memang harus ditegakkan, tetapi tetap harus
dipilah-pilah”.
Di tengah kondisi masyarakat yang sedang mengalami patologi, sanksi
yang bersifat represif bukanlah obat yang mujarab. Bentuk sanksi yang
bersifat represif seperti ancaman tembak di tempat maupun ancaman
dikeluarkan dari sekolah, tidak tepat.
Pasalnya sanksi represif justru tidak akan membuat anggota geng
motor dan punkkers menjadi jera. Justru dikhawatirkan
remaja yang menjadi anggota-anggotanya menjadi penjahat besar.
Untuk anggota geng motor dan punkkers yang masih
remaja, sebaliknya dilakukan pendekatan secara psikologis dan
sosiologis. Penanganannya tetap perlu melibatkan masyarakat secara
luas, terutama melibatkan peran orang tua secara aktif. Orang tua
menjadi ujung tombak penting.
Membubarkan geng motor juga bukan solusi yang tepat. hal itu
malah menimbulkan tindak kriminalitas baru.Penanganan terhadap geng
motor dan punkkers tak hanya sebatas dengan cara-cara
hukum. ”Polisi tetap mengedepankan cara-cara lain dengan melibatkan
orang tua, guru dan masyarakat secara luas
Bagi anggota geng motor dan punkkers yang terbukti
melakukan tindak kriminal, polisi tetap memberikan sanksi hukum.
Sanksi hukum diharapkan dapat menjadi efek jera. berharap penanganan
yang dilakukan dapat menjadi obat yang tepat. Sebab, jika obat
tersebut keliru, dikhawatirkan di masa mendatang fenomena geng
motor dan punkkers dengan aksi kekerasannya justru semakin
marak.
Jika melihat kenakalan remaja yang dilakukan oleh geng motor dan
punnkers, maka saran yang dapat diajukan adalah:
Pertama, sebaiknya masalah tindak pidana yang dilakukan
oleh kelompok tersebut diatas diatur secara khusus dalam sebuah
peraturan daerah (perda) yang tentu saja secara yuridis harus mengacu
pada perundang-undangan yang lebih tinggi. Isi perda memuat ketentuan
penanganan masalah kejahatan remaja yang meliputi empat unsur, yaitu
unsur preventif, unsur represif, unsur kuratif, dan unsur
koordinatif.
Ketentuan sanksinya dibuat lebih tegas, tidak hanya terhadap pelaku
tetapi juga kepada anggota kelompok geng lainnya yang mempengaruhi
untuk melakukan tindak kejahatan. Dan yang sangat penting pula adanya
penyuluhan hukum kepada anggota geng motor dan punnkers
agar mereka ”melek hukum”.
Kedua, penanganan masalah tindak pidana yang dilakukan
geng motor dan punnkers harus melibatkan berbagai pihak
dalam masyarakat. Upaya pembinaan dilakukan tidak hanya terhadap
pelaku tindak pidana juga terhadap semua unsur dalam masyarakat,
yaitu aparat penegak hukum, instansi terkait, dan masyarakat luas.
Karena adanya aparat penegak hukum yang profesional mutlak
diberlakukan dalam upaya penegak hukum.
Begitu
juga pada masyarakat, dengan dilakukannya pembinaan tersebut,
diharapkan terjadi peningkatan kesadaran hukum masyarakat untuk
mematuhi peraturan yang ada, tidak melakukan ejekan dan sangkaan
buruk terhadap remaja yang tergabung dalam kelompok geng bermotor.
Terutama peran pihak keluarga remaja diperlukan agar dapat lebih
memperhatikan kebutuhan dan kasih sayang yang seharusnya didapatkan
oleh para remaja seusianya, serta memberikan bimbingan yang lebih
baik terhadap apa yang mereka lakukan.
Ketiga, untuk remaja sendiri diperlukan sikap mawas
diri dalam melihat kelemahan dan kekurangan diri sendiri dan
melakukan introspeksi dan koreksi terhadap kekeliruan yang telah
dilakukan. Sebaliknya, orang tua dan para pembina remaja harus
memperbanyak kearifan, kebaikan, dan keadilan, agar orang dewasa
dapat dijadikan panutan bagi anak-anak muda demi perkembangan dan
proses kultivasi generasi muda penerus bangsa.***
DAFTAR
PUSTAKA
- Faizah, S.Ag, M.A dan H. Lalu Muchsin Effendi, Lc., M.A. “Psikologi Dakwah”. Jakarta : Kencana, 2006.
- Walgito,Bimo. Prof. Dr. (R004) “Pengantar Psikolagi Umum”. Yogyakarta :Andi Ofset
- Kartono, Kartini, “Psikologi Umum”. (Bandung: Mandar Maju,1996)
Komentar
Posting Komentar